BAB
I
TINJAUAN
PUSTAKA
1. KONSEP
DASAR TEORI
1.1. Definisi
Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan efek
pada beberapa sistem organ terutama kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro
intestinal yang merupakan reaksi imunologis yang didahului dengan terpaparnya
alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi. Syok
anafilaktik adalah reaksi anafilaksis yang disertai hipotensi dengan atau
tanpa penurunan kesadaran.
(Cicilia Bangeud, 2012)
Syok anafilaktik merupakan suatu resiko
pemberian obat, baik melalui suntikan ataupun dengan cara lain. Reaksi dapat
berkembang menjadi suatu kegawatan berupa syok, gagal napas, henti jantung, dan
kematian mendadak.
(Alirifan, 2007)
Syok
anafilaksis merupakan jenis syok distributif adalah hasil
dari reaksi hipersensitivitas segera. Ini adalah peristiwa hidup yang mengancam
yang memerlukan intervensi secepatnya. Respon antibodi antigen yang parah
menyebabkan penurunan perfusi jaringan dan inisiasi respon syok umum.
(Critical care nursing, 2007)
Syok
anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai olehImmunoglobulin
E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat.
1.2. Etiologi
Syok anafilaktik
disebabkan oleh respon antigen antibodi. Hampir semua zat apapun
dapat menyebabkan reaksi hypersensivitas. Zat ini, dikenal sebagai antigen,
dapat diperkenalkan dengan injeksi atau konsumsi atau melalui kulit atau
saluran pernapasan. Sejumlah antigen telah diidentifikasi yang dapat
menyebabkan seseorang mengalami rekasi hipersensitivitas.
Banyak bahan yang dapat menimbulkan
reaksi anafilaksis dan bahan-bahan tersebut terutama masuk ke dalam tubuh
melalui parenteral, walaupun ada pula bahan-bahan yang masuk melalui enteral
yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis. (Alirifan, 2011)
Bahan-bahan yang terlibat antara lain:
1.2.1. Antibiotika : penicillin dan
derivatnya, sefalosporin, tetrasiklin, eritromisin, streptomisin.
1.2.2. NSAID : salisilat, aminopirin.
1.2.3. Narkotik analgetik : morfin,
kodein, meprobamat
1.2.4. Anestesi local : prokain,
lidokain, kokain
1.2.5. Anestesi umum : thiopental,
propofol
1.2.6. Produk darah dan antisera :
eritrosit, lekosit, trombosit, gama -globulin, antitoksin, anti difteri,
anti rabies, anti tetanus, anti bias ular dan laba-laba.
1.2.7. Bahan diagnostic : radiokontras
yodium
1.2.8. Obat – obat lain :
protamin, klorpropamid, besi, yodium, tiasid, suksinilkolin.
1.2.9. Bisa hewan : lebah , lalat
kerbau , ular , laba-laba, ubur-ubur.
1.2.10. Hormon : insulin, ACTH, ekstrak
pituitaria.
1.2.11. Enzim dan biologis lain :
asetil sistein , tambahan enzim pan- kreas.
1.2.12. Ekstra allergen potensial yang
dipakai pada desensitisasi : tepung sari, makanan, bisa hewan.
1.3. Klasifikasi
klasifikasi syok anafilaksis
RINGAN
|
SEDANG
|
BERAT
|
1.
Rasa kesemutan dan
hangat di perifer
2.
Rasa penuh di mulut dan
tenggorokan
3.
Kongesti nasal pembengkakan
periorbital
4.
Pruritus,
bersin-bersin dan mata berair
5.
Awitan
gejala terjadi 2 jam setelah kontak
|
1.
Kemerahan
pada muka dan leher (sementara), rasa hangat, gatal-gatal
2.
Reaksi
serius disertai bronkospasme dan edema saluran nafas atau laring dengan
dipsnea, mengi dan batuk Kemerahan pada muka dan leher (sementara),rasa
hangat, gatal-gatal
|
1.
Onset
mendadak
2.
Gejala = ringan
hanya kejadian lebih cepat hingga terjadi bronkospasme, edema
laring, dispnea berat serta sianosis
3.
Disfagia,kram
abdomen,vomitus, diare dan serangan kejang-kejang
4.
Kadang
timbul henti jantung dan koma
|
1.4. Manifestasi Klinis
Syok
anafilaktik adalah reaksi sistemik yang parah yang dapat mempengaruhi beberapa
sistem organ. Berbagai manifestasi klinis yang terjadi pada pasien anafilaksis
shock, tergantung pada tingkat keterlibatan multisistem. Gejala biasanya mulai
muncul dalam menit paparan antigen tetapi mereka mungkin tidak terjadi untuk
hingga 1 jam. Gejala mungkin juga muncul setelah 1-72 jam setelah
paparan. Fase akhir dari reaksi ini akan mirip dengan respon awal
anafilaksis, lebih ringan atau lebih parah.
Manifestasi
klinis dari syok anafilaksis :
1.4.1
Kardiovaskular
a. Hipotensi
b. Takikardia
1.4.2
Pernapasan
a.
Benjolan di tenggorokan
b.
Batuk
c.
Dyspnea
d.
Dysphagia
e.
Suara serak
f.
Stridor
g.
Wheezing
h.
Rales and rhonchi
1.4.3
Cutaneous
a. Pruritus
b. Erythema
c. Uritacria
d. Angioedema
1.4.4 Neurologi
a. Kegelisahan
b. Ketakutan
c. Tingkat kecemasan
d. Pusing – sakit kepala
e. Menurun kesadaran
1.4.5 Gastrointestinal
a. Mual
b. Muntah
c. Diare
d. Sakit perut
1.4.6 Saluran kemih dan genital
a. Inkontinensia
b. Keluhan pendarahan
subjektif vagina
c. Sensasi kehangatan
d. Dyspnea
e. Perut kram dan nyeri
1.4.7 Parameter Hemodinamik
a. Penurunan jantung
tekanaan out (CO)
b. Indeks jantung (CI)
c. Penurunan tekanan di
atrium (RAP)
d. Penurunan paru oklusi
(POAP)
e. Penurunan sistemik
vaskular (SVR)
Bentuk
dari kemajuan reaksi anafilaktik , terjadinya reflek takikarni dan
hipotensi. Ini terjadi dalam menanggapi
besarnya vasodilatasi dan hilangnya volume sirkulasi. Vena
jugularis tampak datar karena tekanan diastolik menurun. Yang hasil
akhirnya adalah kegagalan peredaran darah dan jaringan perfusi tidak
efektif. Tingkat kesadaran yang
pasien mungkin akan memburuk untuk tidak merespon .
Penilaian
dari parameter hemodinamik pada pasien syok anafilaktik ditandai dengan penurunan CO dan CI. Vena mengalami vasodilatasi
dan volume yang sangat besar untuk sebuah kerugian yang memimpin penurunan dalam proses
penyimpanannya, yang mengakibatkan penurunan dalam RAP dan
PAOP. Vasodilatasi dari hasil sistem arteri
pada penurunan beban jantung, seperti dibuktikan oleh
penurunan SVR.
1.5. Patofisiologi
Bila
suatu alergen spesifik disuntikkan langsung kedalam sirkulasi darah maka
alergen dapat bereaksi pada tempat yang luas diseluruh tubuh dengan adanya
basofil dalam darah dan sel mast yang segera berlokasi diluar pembuluh darah
kecil, jika telah disensitisasi oleh perlekatan reagen Ig E menyebabkan terjadi
anafilaksis.
Histamin
yang dilepaskan dalam sirkulasi menimbulkan vasodilatasi perifer menyeluruh,
peningkatan permebilitas kapiler menyebabkan terjadi kehilangan banyak plasma
dari sirkulasi maka dalam beberapa menit dapat meninggal akibat syok sirkulasi.
Histamin yang dilepaskan akan menimbulkan
vasodilatasi yang menginduksi timbulnya red flare (kemerahan) dan peningkatan
permeabilitas kapiler setempat sehingga terjadi pembengkakan pada area yang
berbatas jelas (disebut hives). Urtikaria muncul akibat masuknya antigen kearea
kulit yang spesifik dan menimbulkan reaksi setempat.
Histamin yang dilepaskan sebagai respon terhadap
reaksi menyebabkan dilatasi pembuluh darah setempat terjadi peningkatan tekanan
kapiler dan peningkatan permeabilitas kapiler menimbulkan kebocoran cairan yang
cepat dalam hidung menyebabkan dinding mukosa hidung bengkak dan bersekresi.
(Gaura, 2011)
1.6. Pathway
1.7. Komplikasi
1.7.1. Henti jantung (cardiac
arrest) dan nafas
1.7.2. Bronkospasme persisten
1.7.3. Oedema
Larynx (dapat mengakibatkan kematian)
1.7.4. Relaps jantung dan pembuluh
darah (kardiovaskuler)
1.7.5. Kerusakan
otak permanen akibat syok
1.7.6. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai
beberapa bulan
1.7.7. Dermatitis kontakta
yang khas, reaksi anafilaktoid
1.7.8.
Lain-lain syok hipovolemik, syok septik
/ kardiogenik, asma dan reaksi histeri
1.8. Pemeriksaan Penunjang
Penunjang
diagnostik EKG untuk mengetahui gambaran jantung (biasanya pada gambar EKG
gelombang T mendatar dan terbalik), aritmia. Tidak ada pemeriksaan laboratorium
yang khas, diagnosa ditegakkan dengan adanya keluhan dan tanda anafilaktik
dengan riwayat sebelumnya memakai obat parenteral atau adanya gigitan serangga.
(Cicilia Bangeud, 2010)
1.9. Penatalaksanaan
Penanganan anafilaksis adalah
sebagai berikut:
1.9.1 Oksigenasi
Prioritas pertama dalam pertolongan
adalah pernafasan. Jalan nafas yang etrbuka dan bebas harus dijamin, kalau
perlu lakukan sesuai dengan ABC-nya resusitasi.
Penderita harus mendapatkan
oksigenasi yang adekuat. Bila ada tanda-tanda pre syok/syok, tempatkan
penderita pada posisi syok yaitu tidur terlentang datar dengan kaki ditinggikan
30o – 45º agar darah lebih banyak mengalir ke organ-organ vital.
Bebaskan jalan nafas dan berikan oksigen dengan masker. Apabila terdapat
obstruksi laring karena edema laring atau angioneurotik, segera lakukan
intubasi endotrakeal untuk fasilitas ventilasi. Ventilator mekanik
diindikasikan bila terdapat spasme bronkus, apneu atau henti jantung mendadak.
1.9.2 Epinefrin
Epinefrin atau adrenalin bekerja
sebagai penghambat pelepasan histamine dan mediator lain yang poten.
Mekanismenya adalah adrenalin meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan
basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine
dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki
kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos
bronkus. Dosis yang dianjurkan adalah 0,25 mg sub kutan setiap 15
menit sesuai berat gejalanya. Bila penderita mengalami presyok atau
syok dapat diberikan dengan dosis 0,3 – 0,5 mg (dewasa)
dan 0,01 mg/ KgBB (anak) secara intra muskuler dan dapat
diulang tiap 15 menit samapi tekanan darah sistolik mencapai 90-100 mmHg.
Cara lain adalah dengan memberikan larutan 1-2 mg dalam 100 ml garam
fisiologis secara intravena, dilakukan bila perfusi otot jelek karena
syok dan pemberiannya dengan monitoring EKG. Pada penderita tanpa kelainan
jantung, adrenalin dapat diberikan dalam larutan 1 : 100.000 yaitu
melarutkan 0,1 ml adrenalin dalam 9,9 ml NaCl 0,9% dan
diberikan sebanyak 10 ml secara intravena pelan-pelan dalam 5
– 10 menit. Adrenalin harus diberikan secara hati-hati pada penderita yang
mendapat anestesi volatile untuk menghindari terjadinya aritmia ventrikuler.
Tabel Dosis Adrenalin Intramuskular
untuk Anak – anak
1.9.3 Pemberian
cairan intravena
Pemberian cairan infuse dilakukan
bila tekanan sistolik belum mencapai 100 mmHg (dewasa) dan 50 mmHg (anak).
Cairan yang dapat diberikan adalah RL/NaCl, Dextran/ Plasma. Pada dewasa sering
dibutuhkan cairan sampai 2000ml dalam jam pertama dan selanjutnya diberikan
2000 – 3000 ml/m² LPB/ 24 jam. Plasma / plasma ekspander dapat diberikan segera
untuk mengatasi hipovolemi intravaskuler akibat vasodilatasi akut dan kebocoran
cairan intravaskuler ke interstitial karena plasma / plasma ekspander lebih
lama berada di dalam intravaskuler dibandingkan kristaloid. Karena cukup banyak
cairan yang diberikan, pemantauan CVP dan hematokrit secara serial sangat
membantu.
1.9.4 Obat – obat vasopressor
Bila pemberian adrenalin dan cairan
infuse yang dirasakan cukup adekwat tetapi tekanan sistolik tetap belum
mencapai 90 mmHg atau syok belum teratasi, dapat diberikan vasopressor. Dopamin
dapat diberikan secara infus dengan dosis awal 0,3mg/KgBB/jam dan dapat ditingkatkan secara
bertahap 1,2mg/KgBB/jam untuk
mempertahankan tekanan darah yang membaik. Noradrenalin dapat diberikan untuk
hipotensi yang tetap membandel.
1.9.5 Aminofilin
Sama seperti adrenalin, aminofillin
menghambat pelepasan histamine dan mediator lain dengan meningkatkan c-AMP sel
mast dan basofil. Jadi kerjanya memperkuat kerja adrenalin. Dosis yang
diberikan 5mg/kg i.v pelan-pelan dalam 5-10 menit untuk
mencegah terjadinya hipotensi dan diencerkan dengan 10 ml D5%. Aminofillin ini
diberikan bila spasme bronkus yang terjadi tidak teratasi dengan adrenalin.
Bila perlu aminofillin dapat diteruskan secara infuse kontinyu dengan
dosis 0,2 -1,2 mg/kg/jam.
1.9.6 Kortikosteroid
Berperan sebagai penghambat mitosis
sel precursor IgE dan juga menghambat pemecahan fosfolipid menjadi asam
arakhidonat pada fase lambat. Kortikosteroid digunakan untuk mengatasi spasme
bronkus yang tidak dapat diatasi dengan adrenalin dan mencegah terjadinya
reaksi lambat dari anafilaksis. Dosis yang dapat diberikan adalah 7-10
mg/kg i.vprednisolon dilanjutkan dengan 5 mg/kg tiap 6 jam
atau dengan deksametason 40-50 mg i.v. Kortisol dapat
diberikan secara i.v dengan dosis 100 -200 mg dalam interval
24 jam dan selanjutnya diturunkan secara bertahap.
1.9.7 Antihistamin
Bekerja sebagai penghambat sebagian
pengaruh histamine terhadap sel target. Antihistamin diindikasikan pada kasus
reaksi yang memanjang atau bila terjadi edema angioneurotik dan urtikaria.
Difenhidramin dapat diberikan dengan dosis 1-2mg/kg sampai 50 mg dosis
tunggal i.m. Untuk anak-anak dosisnya 1mg/kg tiap 4 -6 jam.
1.9.8 Resusitasi jantung paru
Resusitasi jantung paru (RJP)
dilakukan apabila terdapat tanda-tanda kagagalan sirkulasi dan pernafasan.
Untuk itu tindakan RJP yang dilakukan sama seperti pada umumnya.
Bilamana
penderita akan dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik fasilitasnya, maka
sebaiknya penderita dalam keadaan stabil terlebih dahulu. Sangatlah tidak
bijaksana mengirim penderita syok anafilaksis yang belum stabil penderita akan
dengan mudah jatuh ke keadaan yang lebih buruk bahkan fatal. Saat evakuasi,
sebaiknya penderita dikawal oleh dokter dan perawat yang menguasai penanganan
kasus gawat darurat.
Penderita
yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat dipulangkan karena
kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis. Sebaiknya penderita tetap
dimonitor paling tidak untuk 12-24 jam. Untuk keperluan monitoring yang kektat
dan kontinyu ini sebaiknya penderita dirawat di Unit Perwatan Intensif.
(Alirifan, 2011)
Gambar. Algoritma Penatalaksanaan
Reaksi Anafilaktik
2. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
Asuhan Keperawatan pada Gangguan
Sistem Imun pada Kasus Reaksi Anafilaktik
2.1. Pengkajian
2.1.1. Anamnesa /
wawancara
Anamnesis meliputi identitas pasien dan penanggung jawab, riwayat kesehatan
sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang
pernah dialami.
a.
Alasan dirawat atau Keluhan utama
b.
Riwayat kesehatan dan penyakit
yang lalu
c.
Masalah kesehatan yang sedang dialami
d.
Masalah pola fungsi
sehari-hari
e.
Masalah yang dirasakan beresiko atau diketahui
beresiko tinggi pada klien
f.
Pola emosi, konsep diri, gambaran diri,pola
pemecahan masalah
g.
Masalah kebudayaan / kepercayaan, nilai
dan keyakinan
h.
Hubungan sosial atau keluarga, dll
2.1.2. Pemeriksaan
Fisik
a. Status
respirasi
Respirasi meningkat, dan
dangkal (pada fase kompensasi) kemudian menjadi lambat (pada syok septik, respirasi
meningkat jika kondisi menjelek)
b. Fungsi metabolik
Asidosis
akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septik dijumpai
alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui). Alkalosis respirasi akibat
takipnea
c. Keseimbangan asam basa
Pada awal syok pO2
dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena
takipnea, penurunan pO2 karena adanya aliran pintas di paru)
d. Kulit
1)
suhu raba dingin (hangat
pada syok septik hanya bersifat sementara, karena begitu syok berlanjut terjadi
hipovolemia)
2)
Warna
pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok kardiogenik dan syok
hemoragi terminal)
3)
Basah
pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
e. Status jantung
Takikardi,
pulsus lemah dan sulit diraba
f. Tekanan darah
Hipotensi
dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada
penderita yang sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi pada awal
syok septik)
g. Status mental
Gelisah, cemas, agitasi,
tampak ketakutan. Kesadaran dan orientasi menurun, spoor sampai koma
2.1.3. Pemeriksaan
penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Hematologi : darah (Hb, hematokrit, leukosit,
golongan darah), kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa darah. Hitung
sel meningkat, Hemokonsentrasi,
trombositopenia, eosinophilia naik/ normal / turun
2) Kimia : Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase
meningkat
3) Analisa gas darah
b. Radiologi
1) X foto : Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis
karena mukus, plug.
2) EKG : Gangguan
konduksi, atrial dan ventrikular disritmia
2.1.4. Pengelompokan
data
a. Data
subjektif :
1) Klien mengatakan
sesak nafas atau sulit dalam bernafas
2) Klien
mengatakan dirinya sangat lemas
3) Klien
mengeluh mual dan muntah
4) Klien
mengatakan cemas dan gelisah
5) Klien
mengatakan gatal – gatal pada kulit dan hidung
b. Data
objektif :
1) Klien tampak
sesak, tampak bernafas dengan mulut, tampak pembengkakan pada mukosa hidung,tampak
penggunaan otot bantu nafas, pernafasan cuping hidung, terpasang oksigen
2) Tampak
bengkak di sekitar tubuh dan hidung klien
3) Klien tampak
pucat, akral dingin, gambaran EKG gelombang T mendatar dan terbalik
4) Tanda –
tanda vital terutama tekanan darah menurun
5) Klien tampak
lemah
6) Klien tampak
cemas
7) Klien tampak
menggaruk – garuk badannya, tampak adanya pruritus (ada hives) urtikaria
2.2. Diagnosa
2.2.1. Analisa data
No
|
Symptom
|
Etiologi
|
Problem
|
1
|
DS : klien mengatakan sesak nafas atau sulit dalam bernafas
DO :
-
klien tampak bernafas dengan mulut
-
Tampak pembengekakan pada mukosa hidung
-
Terpasang O2
-
Tampak penggunaan otot bantu nafas dan pernafasan cuping
hidung
-
Tanda – tanda vital khususnya RR menurun (dsypnea)
|
Reaksi imunologi traktus respiratorus (allergen terikat
oleh Ig E terjadi degranulasi sel mast)
Mengeluarkan performed mediator
seperti histamine, protease dan newly generated mediator seperti leukotrein,
prostaglandin
Penyempitan atau spasme otot
bronkeolus, edema saluran nafas/laring
|
Pola nafas tidak efektif
|
2
|
DS : Klien mengatakan cemas dan gelisah
DO :
-
Klien tampak pucat, akral dingin
-
Klien tampak cemas dan gelisah
-
Tanda – tanda vital terutama tekanan darah menurun
-
Gambaran EKG gelombang T
mendatar dan terbalik
|
Penurunan aliran darah sekunder
terhadap gangguan vaskuler akibat reaksi anafilaktik
Penurunan curah jantung dan
vasodilatasi
|
Gangguan
perfusi jaringan
|
3
|
DS :
-
Klien mengatakan dirinya sangat lemas
-
Klien mengeluh mual dan muntah
DO
:
-
Klien tampak lemah
-
Klien tampak mual dan muntah
|
Reaksi anafilaktik
Peningkatan kapasitas vaskuler
|
Resiko
ketidakseimbangan volume cairan
|
4
|
DS : Klien mengatakan gatal – gatal pada bagian kulit dan
hidung
DO :
-
Klien tampak menggaruk – garuk badannya
-
Tampak pruritus (ada hives), urtikaria
-
Tampak bengkak disekitar tubuh dan hidungnya
|
Peningkatan produksi histamine dan
bradikinin oleh sel mast
|
Gangguan integritas kulit
|
2.2.2. Rumusan diagnosa
a. Pola
nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme otot bronkeolus yang ditandai
dengan klien mengatakan sesak nafas atau
sulit dalam bernafas, klien tampak bernafas dengan mulut, tampak pembengekakan
pada mukosa hidung, terpasang O2 , tampak penggunaan otot bantu
nafas dan pernafasan cuping hidung, tanda – tanda vital khususnya RR menurun (dsypnea).
b.
Gangguan perfusi jaringan
berhubungan dengan penurunan curah jantung dan vasodilatasi yang ditandai dengan klien
mengatakan cemas dan gelisah, klien tampak pucat, akral dingin, klien tampak
cemas dan gelisah, tanda-tanda vital terutama tekanan darah menurun, gambaran
EKG gelombang T mendatar dan terbalik.
c.
Resiko ketidakseimbangan
berhubungan dengan peningkatan
kapasitas vaskuler yang ditandai dengan Klien mengatakan dirinya
sangat lemas, klien mengeluh mual dan muntah, klien tampak lemah, klien tampak
mual dan muntah
d.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan
produksi histamine dan bradikinin oleh sel mast, Klien mengatakan gatal-gatal
pada bagian kulit dan hidung, klien tampak menggaruk-garuk badannya, tampak
pruritus (ada hives), urtikaria, tampak bengkak disekitar tubuh dan hidungnya
2.3. Intervensi
Hari / tanggal
|
No Dx
|
Intervensi Keperawatan
|
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1
|
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama … x 24 jam di harapkan pasien mampu mempertahankan pola
pernapasan efektif dengan kriteria hasil :
- Klien tidak mengeluh sesak
- Bernafas
spontan tanpa bantuan O2
- Tidak
ada penggunaan otot bantu nafas dan cuping hidung
- RR
normal 16-20 x/menit
|
1. Pastikan
tidak terdapat benda atau zat tertentu atau gigi palsu pada mulut pasien
2. Atur
posisi klien :
Letakkan
pasien pada posisi sim, permukaan datar dan miringkan kepala pasien
3. Lakukan
penghisapan sesuai indikasi
4. Kolaborasi
:
Berikan tambahan O2 atau ventilasi manual
sesuai kebutuhan
|
1. Menurunkan
resiko aspirasi / masuknya suatu benda asing ke faring
2. Meningkatkan
aliran sekret, mencegah lidah jatuh & menyumbat jalan nafas
3. Menurunkan
resiko aspirasi atau asfiksia
4. Kolaborasi
:
Untuk
menurunkan hipoksia cerebral
|
|
2
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam diharapkan dapat
memperbaiki perfusi jaringan dengan
kriteria hasil :
-
Kulit pasien hangat
-
Tanda vital dalam batas normal
-
Pasien sadar atau berorientasi
|
1. Kaji
perubahan tiba-tiba atau gangguan mental kontinu (cemas, gelisah, bingung,
letargi, pingsan)
2. Kaji
warna kulit apakah pucat, sianosis, belang, catat kekuatan nadi perifer
|
1.
Perfusi serebral secara langsung
berhubungan dengan curah jantung.
2. Penurunan curah jantung dibuktikan oleh penurunan
perfusi kulit dan penurunan nadi
|
|
3
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam diharapkan kebutuhan cairan tubuh
pasien dapat terpenuhi dengan kriteria hasil :
- Klien
tampak segar
- Volume cairan
klien dapat terpenuhi
-
|
1. Kaji
tanda-tanda vital
2. Kaji
peningkatan suhu dan durasi demam, berikan kompres hangat sesuai indikasi,
pertahankan pakaian tetap kering, pertahankan kenyamanan suhu lingkungan
3. Ukur haluan urine dan berat jenis urine
4. Pantau
pemasukan oral dan memasukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari
5. Kolaborasi
dengan tim medis lainnya dalam pemberian obat-obatan sesuai indikasi, missal:
antipiretik (aceta minofen)
|
1. Indikator dari volume cairan sirkulasi
2. Meningkatkan kebutuhan metabolisme dan diforesis yang
berlebihan dihubungkan dengan demam dalam meningkatkan kehilangan cairan yang
berlebihan
3. Peningkatan berat jenis urine atau penuruna
haluaran urine menunjukan perubaha perfusi ginjal atau volume sirkulasi.
4. Memprtahankan keseimbangan cairan, mengurangi
rasa haus,
dan melembabkan membran mukosa
5. Untuk membantu mengurangi demam dan respon metabolisme,
menurunkan cairan tak kasat mata
|
|
4
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam diharapkan dapat
- menunjukan kemajuan pada luka
atau penyembuhan
dengan kriteria hasil :
- Klien
tidak lagi menggaruk – garuk badannya
- Klien
merasa nyaman
- Klien
dapat mempertahankan integritas kulitnya
-
|
1. Kaji
kulit setiap hari. Catat warna kulit, turgor kulit, sirkulasi dan sensasi
2. Perthankan
hygiene kulit, misalnya membasuh dan kemudian mengeringkan dengan hati-hati
dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau cream
3. Pertahankan kebersihan lingkungan pasien seperti seprei
bersih kering dan tidak berkerut
4. Sarankan
pasien untuk melakukan ambulasi beberapa jam sekali jika memungkinkan
5. Gunting
kuku secara teratur
6. Kolaborasi
:
Gunakn
atau berikan obat-obatan atau
sistemik sesuai indikasi.
|
1. Untuk mengetahui ada tidaknya perubahan kulit
2. Mempertahankan
kebersihan karena kulit tiap kering dapat menjadi barier infeksi dan masase dapat meningkatkan
sirkulasi kulit dan kenyamanan
3. Friksi kulit di sebabkan oleh kain yang berkerut dan
basah yang dapat menyebabkan
iritasi dan potensial terhadap infeksi
4. Menurunkan
tekanan pada kulit dari istirahat lama di tempat tidur
5. Kuku
yang panjang atau kasar dapat meningkatkan kerusakan dermal
6. Kolaborasi
:
Digunakan pada
perawatan lesi kulit. Jika digunakan salep multi
dosis,
perawatn harus dilakuakn untuk menghindari kontaminasi
silang
|
2.4. Implementasi
Hari/Tgl/Jam
|
No Dx
|
Implementasi
|
Respon Hasil
|
Paraf
|
|
1
|
1. Mengkaji
tanda-tanda vital terutama RR
2. Mengatur posisi pasien
|
1.
RR dalam batas normal
2.
Pasien dengan posisi hiperekstensi / semi
fowler
|
Mahasiswa
|
|
2
|
1.
Mengkaji prubahan tiba-tiba gangguan mental
kontinu
2.
Mengkaji warna kulit
|
1. Klien
tampak sadar dan berorientasi
2. Kulit
klien tampak pucat
|
|
|
3
|
1. Mengkaji
tanda-tanda vital
2. Memantau
pemasukan cairan
3. Memberikan
antipiraktik acetaminophen
|
1. Klien
tampak segar
2. Klien
tampak mengikuti anjuran tenaga medis
3.
Klien tampak minum
acetanimofen
|
|
|
4
|
1.
Menkaji warna kulit, turgor kulit dan
sensasi
2.
Mempertahankan hygiene kulit
3.
Membantu mempertahankan kebutuhan lingkungan klien
4.
Memerikan obat-obatan / sistemik sesuai
indikasi
|
1. Kulit
klien tampak menunjukan kemajuan pada luka / penyembuhan
2. Klien
tampak menggunakan lotion dan sebagainya
3. Klien
tampak nyaman dengan lingkungan sekiturnya
4. Klien
mau mengikuti anjuran perawat dan tenaga medis lainnya.
|
|
2.5. Evaluasi
Hari / Tgl Jam
|
No Dx
|
Catatan Perkembangan
|
Paraf
|
|
1
|
S : Klien mengatakan sesaknya mulai berkurang
O : Tampak rileks saat bernafas
-
Bernafas dengan bantuan O2
-
Tidak ada penggunaan otot bantu nafas dan cuping hidung
-
RR masih dibawah batasan normal
A : Masalah pola nafas teratasi sebagian
P : Intervensi dilanjutkan, no : 1,2,3
1. Kaji
tanda – tanda vital terutama pernafasan
2. Atur
posisi klien : kepala hiperekstensi
3. Atur
posisi klien :semi fowler/ trendelenburg
|
Mahasiswa
|
|
2
|
S : Klien
mengatakan rasa cemas dan gelisahnya berkurang
O : Tampak
tenang
-
Kulit pasien hangat
-
Tanda vital dalam batas normal
-
Pasien sadar atau berorientasi
A : Masalah perfusi jaringan
teratasi
P : Intervensi dihentikan
|
|
|
3
|
S : Klien mengatakan dirinya tidak lemas lagi
O : Klien tampak segar
A : Masalah ketidakseimbangan volume cairan teratasi
P : Intervensi dihentikan
|
|
|
4
|
S : Klien
mengatakan tidak gatal-gatal lagi di bagian kulit dan hidung
O : Klien
tampak tidak menggaruk-garuk bagian tubuhnya terutama kulit dan hidungnya
lagi
A : Masalah
integritas kulit teratasi
P :
Intervensi dihentikan
|
|
BAB II
PENUTUP
1. Kesimpulan
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang
doperantarai oleh Ig E yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri
yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai
angka mortalitas yang sangat tinggi.
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam
penatalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan.
Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaidah kegawat
daruratan, reaksi anafilaktik jarang menyebabkan kematian.
2. Saran
Bagi para tenaga kesehatan
khususnya perawat atau dokter diharapkan
agar tetap berhati-hati dalam memberikan tindakan, terutama tindakan invasif.
Sangat perlu diperhatikan obat-obatan yang akan diberikan kepada pasien,
sebelum melakukan pemberian obat-obatan dengan cara injeksi harus melakukan
skin test terlebih dahulu agar mengetahui apakah obat itu dapat diterima oleh
tubuh pasien atau tidak, agar tidak terjadi syok anafilaktik